Menggali Sumber Yuridis

By TRUNS CARS - Maret 27, 2019


   Menggali Sumber Yuridis, Historis, Sosiologis, dan Politis tentang Pancasila sebagai Dasar Negara
Dalam rangka menggali pemahaman  Pancasila sebagai dasar negara, Anda akan   dihadapkan   pada   berbagai  sumber   keterangan.   Sumber-sumber tersebut  meliputi sumber historis, sosiologis, dan politis. Berikut merupakan rincian dari sumber-sumber tersebut.


 

Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat  pada  Pembukaan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun  1945, yang kelahirannya ditempa dalam proses kebangsaan Indonesia. Melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai payung hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan dapat meredam konflik yang tidak produktif (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 89).

Peneguhan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana terdapat pada pembukaan,  juga  dimuat  dalam  Ketetapan  MPR  Nomor XVIII/MPR/1998, tentang  Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang  Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan ketetapan  tentang  Penegasan  Pancasila sebagai Dasar Negara. Meskipun status   ketetapan   MPR tersebut   saat   ini  sudah  masuk  dalam  kategori ketetapan  MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan (Pimpinan  MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-
2014, 2013: 90).

Selain itu, juga ditegaskan  dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun  2011 tentang  Pembentukan  Perundang-undangan   bahwa  Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Penempatan  Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, yaitu sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa Pancasila ditempatkan sebagai dasar  dan ideologi negara  serta  sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan  tidak   boleh  bertentangan  dengan   nilai-nilai  yang


terkandung dalam Pancasila (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR
periode 2009-2014,  2013: 90-91).


 
Dalam sidang yang diselenggarakan untuk mempersiapkan Indonesia merdeka, Radjiman meminta kepada anggotanya  untuk menentukan  dasar negara. Sebelumnya, Muhammad Yamin dan Soepomo mengungkapkan pandangannya mengenai dasar negara. Kemudian dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyebut  dasar  negara  dengan  menggunakan  bahasa  Belanda, Philosophische grondslag bagi Indonesia merdeka. Philosophische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya,  jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya  untuk di atasnya  didirikan gedung Indonesia merdeka. Soekarno juga menyebut dasar negara dengan istilah Weltanschauung atau pandangan  dunia (Bahar, Kusuma, dan Hudawaty, 1995:  63, 69, 81; dan Kusuma, 2004: 117, 121, 128, 129). Dapat diumpamakan, Pancasila merupakan dasar atau landasan tempat gedung Republik Indonesia itu didirikan (Soepardo dkk, 1962: 47).

Selain pengertian  yang diungkapkan oleh Soekarno, dasar negara dapat disebut pula ideologi negara”, seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta:

“Pembukaan UUD, karena memuat  di dalamnya Pancasila sebagai ideologi negara, beserta dua pernyataan lainnya yang menjadi bimbingan pula bagi politik negeri seterusnya, dianggap sendi daripada hukum tata negara Indonesia. Undang-undang ialah pelaksanaan daripada pokok itu dengan Pancasila sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik negara dan perundang-undangan negara, supaya terdapat Indonesia  merdeka  seperti dicita-citakan:  merdeka,  bersatu, berdaulat,  adil dan makmur” (Hatta, 1977: 1; Lubis, 2006: 332).

Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag dari negara, ideologi negara, staatsidee. Dalam hal tersebut, Pancasila  digunakan  sebagai  dasar  mengatur   pemerintah  negara.  Atau dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara (Darmodiharjo, 1991: 19).

Dengan demikian, jelas kedudukan Pancasila itu sebagai dasar negara, Pancasila sebagai dasar negara dibentuk setelah menyerap berbagai pandangan yang berkembang secara demokratis dari para anggota BPUPKI dan PPKI sebagai representasi bangsa Indonesia (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 94). Pancasila dijadikan sebagai


dasar  negara,  yaitu  sewaktu  ditetapkannya  Pembukaan  Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 pada 8 Agustus 1945. Pada mulanya, pembukaan direncanakan pada tanggal 22 Juni 1945, yang terkenal dengan Jakarta-charter (Piagam Jakarta), tetapi Pancasila telah lebih dahulu diusulkan sebagai dasar filsafat negara Indonesia merdeka yang akan didirikan, yaitu pada 1 Juni 1945, dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Notonagoro, 1994: 24). Terkait dengan hal tersebut, Mahfud MD (2009:14) menyatakan bahwa berdasarkan penjelajahan historis diketahui bahwa Pancasila yang berlaku sekarang merupakan  hasil karya bersama  dari berbagai aliran politik yang  ada  di BPUPKI, yang kemudian disempurnakan dan disahkan oleh PPKI pada saat negara didirikan. Lebih lanjut, Mahfud  MD menyatakan bahwa ia bukan hasil karya Moh. Yamin  ataupun  Soekarno saja,  melainkan  hasil  karya bersama sehingga tampil dalam bentuk, isi, dan filosofinya yang utuh seperti sekarang.






 

Secara ringkas, Latif (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode
2009--2014, 2013) menguraikan pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila sebagai berikut.


 
Pertama nilai-nilai ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertical transcendental) dianggap penting sebagai fundamental etika kehidupan bernegara. Negara menurut Pancasila diharapkan dapat  melindungi dan mengembangkan  kehidupan beragama; sementara  agama diharapkan dapat memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan  etika sosial. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan multikeyakinan, negara Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama, melindungi terhadap semua agama dan keyakinan serta dapat mengembangkan  politiknya yang dipandu oleh nilai- nilai agama.


 
Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan  sifat-sifat  sosial  (bersifat  horizontal)  dianggap penting


sebagai fundamental  etika-politik  kehidupan  bernegara  dalam  pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas mengarah pada persaudaraan dunia yang dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.


 
Ketiga, nilai-nilai etis kemanusiaan harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan  kebangsaan  yang lebih dekat  sebelum  menjangkau  pergaulan dunia yang lebih jauh. Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan  yang kuat, bukan saja dapat  mempertemukan  kemajemukan masyarakat  dalam kebaruan komunitas politik bersama, melainkan juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman  komunitas untuk tidak tercerabut  dari akar tradisi dan kesejarahan masing-masing. Dalam khazanah Indonesia, hal tersebut menyerupai perspektif “etnosimbolisyang memadukan antara perspektif “modernisyang menekankan unsur-unsur kebaruan dalam kebangsaan  dengan perspektif primordialis dan perenialis yang melihat unsur lama dalam kebangsaan.


 
Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan  itu dalam  aktualisasinya harus  menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam prinsip musyawarah- mufakat, keputusan  tidak didikte oleh golongan mayoritas  atau  kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha, tetapi dipimpin oleh hikmat/ kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.


 
Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan  serta demokrasi permusyawaratan  itu memperoleh artinya sejauh dalam mewujudkan keadilan sosial. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu dan peran  manusia sebagai makhluk sosial, juga antara pemenuhan hak sipil, politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Pandangan tersebut  berlandaskan pada pemikiran Bierens de Haan (Soeprapto, Bahar dan Arianto, 1995: 124) yang menyatakan bahwa keadilan sosial setidak-tidaknya memberikan pengaruh pada usaha menemukan cita negara bagi bangsa Indonesia yang akan membentuk negara dengan struktur sosial asli Indonesia. Namun, struktur sosial modern mengikuti perkembangan dan tuntunan  zaman sehingga dapatlah  dimengerti apabila para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 berpendapat  bahwa cita negara Indonesia (de


Indonesische Staatsidee) haruslah berasal  dan diambil dari cita  paguyuban masyarakat Indonesia sendiri.



 

Mungkin Anda pernah mengkaji ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) dan di dalam Pasal 36A jo. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, terkandung makna bahwa Pancasila menjelma menjadi asas dalam sistem demokrasi konstitusional. Konsekuensinya, Pancasila menjadi landasan  etik dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Selain itu, bagi warga negara yang berkiprah dalam suprastruktur politik (sektor pemerintah), yaitu lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga  pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, Pancasila merupakan norma hukum dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Di sisi lain, bagi setiap warga negara yang berkiprah dalam infrastruktur politik (sektor masyarakat), seperti organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan media massa,  maka Pancasila menjadi kaidah penuntun dalam setiap aktivitas sosial politiknya. Dengan demikian, sektor masyarakat akan berfungsi memberikan masukan yang baik kepada sektor pemerintah dalam sistem politik. Pada gilirannya, sektor pemerintah akan menghasilkan output politik berupa kebijakan yang memihak kepentingan rakyat dan diimplementasikan secara bertanggung jawab di bawah kontrol infrastruktur politik. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud clean government dan good governance demi terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan masyarakat  yang makmur dalam keadilan (meminjam istilah mantan Wapres Umar Wirahadikusumah).




  • Share:

You Might Also Like

1 komentar